Gembili (Dioscorea esculenta L.) mempunyai nama daerah uwi butul atau ubi jae. Tanaman ini masuk kedalam familia Dioscoreaceae. Memiliki perawakan berupa perdu memanjat, daun berbentuk ginjal, batang kuat, bulat, berbulu halus dan berduri. Tanaman gembili tergolong dalam suku gadung-gadungan atau Dioscoreaceae. Gembili merupakan jenis tumbuhan yang berbuah di bawah tanah (pala pendem dalam bahasa Jawa).
Umbi gembili serupa dengan umbi gembolo, tetapi berukuran lebih kecil. Umbinya berbentuk bulat panjang. Dengan daging berwarna putih sampai putih kekuningan. Gembili adalah tanaman umbi-umbian yang sudah sangat jarang dijumpai, yang telah lama dibudidayakan oleh masyarakat desa meski tidak secara massal.
Umbinya yang masih mentah jika dimakan rasanya gatal, tetapi jika direbus mempunyai tekstur agak lekat seperti ketan. Daging umbi lunak namun jika diremas hancur seperti pasir. Gembili memiliki rasa yang enak sehingga disukai warga, namun tanaman ini biasanya ditanam dalam jumlah terbatas mengingat ketersediaan bibit yang sedikit dan umur panennya mencapai 7-9 bulan.
Habitat asli dari gembili adalah daerah humid dan sub-humid tropik. Wilayah Asia Tenggara diketahui merupakan salah satu pusat budidaya gembili saat ini (terutama Papua Nugini). Agar dapat tumbuh dengan baik dibutuhkan curah hujan 875-1750 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun, dengan suhu 22,7-35 oC.
Baca juga : Manggis, Buah Tropis yang Mempunyai Segudang Manfaat untuk Kesehatan
Gembili dapat tumbuh dengan baik di tanah gembur dengan tekstur ringan, berdrainase baik, banyak mengandung bahan organik, dan memiliki pH 5,5-6,5. Tanaman gembili tumbuh merambat dan rambatannya berputar ke arah kanan (searah jarum jam jika dilihat dari atas) dan dapat mencapai tinggi antara 3-5 meter. Daunnya berwarna hijau dan batangnya berduri di sekitar umbi, serta terdapat duri berwarna hitam.
Tanaman ini menyukai lahan di dataran rendah, namun masih dapat tumbuh pada ketinggian 900 m dpl. Gembili memiliki prospek yang baik untuk dibudidayakan di daerah Jawa, Madura, Bali, dan Sulawesi bagian selatan. Umbi gembili memiliki susunan kandungan gizi yang bervariasi sesuai dengan spesies dan varietasnya. Pengolahan gembili masih monoton, belum ada upaya untuk mengkombinasikan fungsi obat dan sumber energi.
Kandungan gizi makro dalam 100 g umbi gembili, yakni protein 1,1 g, lemak 0,2 g, dan karbohidrat 31,3 g. Selain itu, terkandung serat 1 g, abu 14 g, kalsium 56 mg, fosfor 0,6 g, beta karoten 0,08 SI, vit.B1 4 mg, vit.C 66,4 mg dan air 85 g. Senyawa bioaktif dalam gembili terutama dari metabolit primer seperti asam amino, asetil Co-A, asam mevalonat dan zat antara dari jalur shikimat.
Komponen terbesar dari umbi gembili adalah karbohidrat yang sebesar 27-37%. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa gembili memiliki kandungan karbohidrat yang hampir sama atau lebih dari kandungan padi atau nasi.
Bila ditinjau dari sifat fisiokimianya, gembili memiliki kadar protein tinggi dengan viskositas rendah sehingga baik dikembangkan sebagai tepung komposit untuk produk pangan. Tepung umbi gembili lebih cocok diolah dengan teknik pengukusan, hal ini dikarenakan pengolahan dengan penggorengan dan pemanggangan menyebabkan rasa pahit.
Jika tepung yang terbuat dari gembili ditambahkan ke dalam mie, maka perlu dilakukan penambahan telur untuk meningkatkan mutu protein mie sehingga menciptakan mie yang lebih liat (elastis) sehingga tidak mudah putus.
Baca juga : Kepel, Buah Kesukaan Para Putri Keraton yang Kini Mulai Langka
Gembili mememiliki sifat hipolipidemik sehingga dapat menurunkan total kolesterol, kadar trigliserida, kolesterol LDL dan kenaikan kolesterol HDL secara signifikan. Ekstrak etanol dari gembili memiliki aktivitas anti kanker yang berpengaruh secara signifikan terhadap siklus perkembangan sel kanker payudara.
Penelitian pre-klinik pada objek diabetes menunjukkan bahwa pemberian tepung gembili dapat menurunkan kadar glukosa darah atau dengan kata lain memiliki efek anti-hiperglikemi. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa gembili mengandung glukomanan yang dapat berpotensi pada bidang industri pangan maupun kesehatan.
Makanan yang tinggi kandungan glukomanan dapat memperbaiki kontrol glikemik dan profil lemak. Dalam bidang pangan glukomanan dapat digunakan sebagai bahan tambahan makanan sebagai bahan pengetal dan penstabil. Penelitian dilakukan juga mengungkapkan manfaat inulin yang terkandung dalam gembili.
Inulin merupakan sebuah polimer dari fruktosa yang komponennya tersusun dari β chain (1,2) fruktofu- ranosida. Inulin termasuk karbohidrat dengan panjang rantai 2-60 unit. Inulin rantai panjang (22-60 unit) bersifat kurang larut dan lebih kental sehingga dapat digunakan sebagai pengganti lemak.
Inulin merupakan salah satu komponen bahan pangan yang banyak dimanfaatkan sebagai pangan fungsional karena memiliki kandungan serat yang tinggi. Inulin bersifat prebiotik dimana inulin tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, tetapi di dalam usus besar inulin akan terfermentasi oleh bakteri bifidobacterium yang banyak memberikan manfaat kesehatan pada tubuh.
Gembili dapat menjadi pilihan sebagai makanan pokok masyarakat yang daerahnya bukan penghasil padi atau beras. Tidak hanya mengenyangkan perut, rasanya pun juga enak. Masyarakat Papua misalnya mengonsumsi gembili sebagai makanan pokok.
Baca juga : Buah Kesemek, si Genit dari Asia Timur yang Kaya Gizi
Tidak hanya itu, gembili memiliki nilai kultural dan spiritual khususnya bagi masyarakat adat Yanume di kampung Yanggandur Kabupaten Merauke. Serta masyarakat adat Kemtuk Gresi di Namblong, Sentani, Kabupaten Jayapura yang mengonsumsi gembili sebagai makanan pokok.
Bagi suku Kanume, gembili, merupakan tanaman sakral untuk acara adat. Gembili dianggap sakral, suku Kanume yang hidup di Yanggandur terdapat aturan tidak boleh memperjualbelikan gembili sembarangan. Gembili biasa tersaji sebagai makanan dalam acara adat atau saat ada kunjungan dari luar Yanggandur.
Dari kebudayaan masyarakat Papua dan pemanfaatan gembili sebagai makanan pokok, tanaman ini bisa dijadikan juga sebagai pangan alternatif Indonesia di masa depan. Ketergantungan terhadap nasi atau padi diharapkan dapat dikurangi karena kandungan karbohidrat keduanya hampir sama. Potensi gembili sebagai pangan alternatif perlu lebih disosialisasikan dan dibudayakan oleh masyarakat Indonesia, khususnya di Papua yang bukan merupakan penghasil padi.
Kegiatan promosi dan sosialisasi dari semua pihak diharapkan dapat menjadikan Provinsi Papua berdaulat pangan dengan umbi-umbian lokal, khususnya gembili dan menjadi primadona makanan pokok. Pangan lokal diharapkan dapat menjadi tumpuan atau penyangga ketahanan pangan di tingkat regional maupun nasional. (Ramlee)