Mino muka kuning (Mino dumontii) merupakan spesies burung yang termasuk dalam keluarga jalak, Sturnidae. Berkerabat dengan jalak suren (Gracupica contra), jalak cina (Agropsar sturninus), tiong emas (Gracula religiosa), dan masih banyak lagi. Burung ini disebut juga beo papua atau di mancanegara disebut papuan myna, yellow-faced myna, atau dumont myna.

Mino muka kuning merupakan salah satu plasma nutfah yang berharga dari Tanah Papua, Indonesia. Burung ini banyak dicari para penggemar burung, apalagi yang masih piyik, karena bisa dilatih untuk berbicara seperti halnya burung beo.

Burung ini hanya bisa ditemukan di Papua, mulai dari Provinsi Papua dan Papua Barat, hingga negeri tetangga Papua Nugini dan beberapa pulau terdekatnya. Habitatnya adalah hutan tropis dan non-tropis di dataran rendah.

Beo Papua berkerabat dengan jalak

Ukuran tubuhnya sekitar 25 cm dengan bobot rata-rata 217 gram. Burung ini memiliki ekor pendek, bercak-bercak pada bagian atas, belakang, dan bawah tubuhnya. Bagian dagu dan sisi tenggorokan juga memiliki bercak.

Baca juga : Cucak Rotan, Burung Unik Endemik Papua

Warna bulu di tubuhnya sebagian besar berwarna hitam dengan kilap ungu. Namun, bulu di punggungnya sedikit berbeda, yakni berwarna hitam dengan kilap kehijauan. Di samping itu, bagian bokong memiliki bulu berwarna putih dan bagian perut berwarna kuning keemasan.

Beo Papua jarang sekali bisa bersiul tapi bisa menirukan suara manusia

Mino muka kuning juga memiliki iris mata berwarna oranye-kuning dengan bintik-bintik hitam. Terdapat beberapa variasi geografis pada warna iris matanya. Iris mata mino muka kuning di selatan Nugini berwarna cokelat, tetapi di utara iris matanya berwarna cokelat tua dengan atau tanpa bintik-bintik.

Burung ini memiliki kulit kepala berwarna oranye-kuning dengan paruh dan kaki yang juga berwarna oranye-kuning. Karena warna kuning pada kulit sekitar matanya, bahkan hampir memenuhi wajahnya, maka para ornitolog memberinya nama yellow-faced myna.

Mino muka kuning tengah makan buah

Tekstur dari kulit kuning tersebut bervariasi, mulai dari yang terasa halus sampai kasar seperti kulit jeruk. Perbedaan tekstur ini disebabkan makanan, sinar matahari, tetapi secara umum hal ini menunjukan usia dari beo papua ini.

Baca juga : Kasuari, Burung Purba yang Setia Menjaga Ekosistem Hutan Papua

Makin kasar tekstur kulitnya, makin tua umur burung tersebut. Hanya saja, ketika masih juvenil kulit wajahnya dan bulu di perutnya terlihat lebih pucat daripada pada saat dewasa. Tidak ada perbedaan morfologi antara burung jantan dan betina. Membedakan jenis kelamin Mino muka kuning memang agak sulit, kecuali dengan bantuan ahli untuk tes DNA.

Mino muka kuning dan burung beo

Mino muka kuning dapat diketemukan di Pulau Papua bagian Barat, tepatnya di Waigeo, Batanta, Salawati. Selain itu, Mino muka kuning juga tersebar hingga ke Papua Nugini dan pulau-pulau kecil di lepas pantai (kecuali lepas pantai tenggara) dan Pulau Aru.

Burung ini mendiami berbagai jenis hutan, termasuk hutan hujan, hutan monsun, dan hutan rawa. Umumnya berada di daerah dataran rendah dan perbukitan di bawah 800 mdpl. Namun, mino muka emas di timur Nugini bisa kita temukan hingga ketinggian 1.800 mdpl.

Mino muka kuning di depan sarangnya

Makanan utama burung ini adalah buah dan serangga. Mino muka kuning gemar memakan buah beri dan ulat. Umumnya mereka mencari makan secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Namun, tidak menutup kemungkinan Mino muka kuning berada dalam kelompok besar juga.

Baca juga : Mambruk, Burung Dara Endemik Papua Bermahkota Indah

Tidak seperti beo pada umumnya yang bisa bersiul maupun menirukan suara burung lain, beo papua jarang sekali bisa bersiul, tetapi mampu menirukan suara manusia dengan fasih. Apalagi jika dilatih sejak piyik. Kalau kita melatihnya saat burung sudah dewasa, kemungkinan burung bisa dilatih bicara sangat kecil. Yang keluar umumnya kicauannya saja yang terdengar sengau dan monoton.

Mino muka kuning sering jadi perburuan liar

Berbeda dari beo pada umumnya yang mudah dijumpai di pasaran, beo papua jarang tersedia di pasar burung. Status burung ini sebenarnya masih Least Concern (LC), alias tidak terlalu mengkhawatirkan, berbeda dari beo nias yang statusnya terancam punah dan sudah ditetapkan sebagai burung yang harus dilindungi.

Dilansir International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), status konservasinya ialah “least concern” dan tidak terancam secara global. Meskipun begitu, burung ini dikatakan kerap kali ditemukan dalam perdagangan hewan peliharaan. Di Indonesia, burung ini termasuk kategori satwa yang tidak dilindungi. (Ramlee)

By Ramlee

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *