Petai raksasa (Entada phaseoloides) merupakan tanaman merambat raksasa yang hidup di Afrika Timur, Asia Selatan, hingga Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Petai raksasa sempat viral setelah unggahan video di media sosial memperlihatkan seseorang memegang polong raksasa menyerupai petai di hutan Kalimantan.

Sebelumnya, temuan serupa juga terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah. Seorang warga menemukan tanaman dengan buah mirip petai, namun ukurannya bisa mencapai lebih dari satu meter. Hasil penelusuran bisa dipastikan jika itu adalah buah dari tanaman liana langka yang hidup di kawasan hutan lindung.
Petai ini juga dikenal dengan nama box bean atau St.Thomas bean. Di Indonesia, petai raksasa ini dikenal dengan nama bendoh, gandu, dan chariyu. Selain Entada phaseoloides, Entada juga memiliki spesies lain yang memiliki buah dan biji nyaris serupa dengan petai raksasa, Entada rheedii.

Dalam literatur botani, penulisan nama Entada sering ditampilkan sebagai E. Rheedei untuk menghormati Hendrik Adriaan van Rheede tot Drakestein, ahli botani Belanda pada abad ke-17. Ia dikenal sebagai penyusun karya besar Hortus Malabaricus yang mendokumentasikan banyak tanaman Asia.
Baca juga : Petai, Rasa dan Aroma Khasnya Mempunyai Banyak Manfaat untuk Kesehatan
Tanaman liana ini pertama kali dijelaskan oleh Linnaeus dan dimasukkan dalam keluarga kacang polong. Jenis tanaman yang mirip petai ini termasuk dalam tanaman liana besar yang memanjat tinggi ke kanopi hutan tropis di dataran rendah.

Tanaman ini biasanya tumbuh di berbagai habitat, mulai dari rawa air tawar dan pedalaman dari bakau hingga hutan pegunungan dimana tumbuh subur dan dimanfaatkan oleh penduduk setempat terutama untuk khasiat obat dan kosmetiknya.
Tanaman petai raksasa ini memiiki struktur daun majemuk menyirip yang terbagi menjadi 1-2 pasang anak daun. Tanaman ini menghasilkan beberapa biji polong besar yang panjangnya bisa lebih dari 100 cm dan lebar 12 cm. Alhasil buah tanaman ini menggantung memanjang seperti layaknya petai raksasa.

Buahnya berupa polong panjang, tebal, dan keras, dengan biji berukuran sekitar 5–6 sentimeter. Kulitnya tidak mudah dibuka dan isinya berwarna putih keabu-abuan. Berbeda dengan petai konsumsi (Parkia speciosa), Entada tidak memiliki aroma khas dan tidak dapat langsung dimakan.
Rasanya pahit dan getir, bahkan berpotensi beracun jika dikonsumsi tanpa pengolahan. Karena itu disarankan untuk tidak mengonsumsinya. Meski beracun, buah tanaman ini masih bisa dimakan setelah direndam dan dipanggang dalam waktu lama.

Di India, biji petai raksasa (Entada phaseoloides) rebus dikonsumsi oleh suku Kharib dari suku Assam dan Samudera seperti Onges dan Suku Andaman Besar. Biji-biji yang direndam dipanggang, direbus dan dimakan oleh kelompok suku timur laut seperti Garo, Khasi, Naga dan Kannikkars dari Tamil Naidu dan Kerala.
Baca juga : Mengenal Kabau, Kerabat Pete dan Jengkol
Dalam penggunaannya, biji berukuran besar yang sudah disangrai ini disebut bisa dipakai sebagai pengganti kopi. Selain itu, bijinya juga bisa diolah menjadi minyak nabati. Daun mudanya juga disebut bisa dimakan. Tanaman petai raksasa ini juga disebut memiliki berbagai manfaat.

Kandungan saponin pada batangnya bisa digunakan sebagai larutan pembersih. Sejumlah jurnal ilmiah menyebutkan kalau Entada memiliki potensi sebagai bahan obat. Sejak dulu, Entada telah digunakan untuk pengobatan tradisional di Afrika.
Bahkan, tanaman ini dipakai sebagai bahan salep untuk bisul, sakit gigi, penyakit kuning, dan mengobati otot bermasalah. Bahkan, beberapa diantaranya suka percaya kalau bijinya dapat digunakan sebagai keberuntungan bagi pemiliknya.

Tanaman ini disebut-sebut bisa digunakan untuk melawan nyeri sendi dan otot rematik, penyakit pernapasan, hernia, keracunan ikan, kencing nanah, berbagai penyakit kulit, bisul, sakit kepala, sakit perut. Sedangkan buahnya dianggap sebagai alat kontrasepsi. Biji panggang dimakan oleh wanita sebagai depuratif (pembersih darah) pasca melahirkan.
Juga dapat diberikan dalam dosis kecil untuk sakit perut, sebagai obat emetik, dan merupakan komponen dalam beberapa obat majemuk. Bubuk kulit pohon digunakan untuk sakit maag dan bubuk bijinya untuk demam dan sakit kepala. Ekstraknya dipercaya memiliki khasiat sebagai antimikroba dan antiinflamasi, meskipun bukti ilmiah di Indonesia masih terbatas.

Namun, penggunaan tanaman ini tetap harus berhati-hati karena kandungan alami pada bijinya bisa menyebabkan iritasi atau reaksi toksik jika dikonsumsi mentah. Pihak konservasi pun menekankan pentingnya edukasi masyarakat agar tidak sembarangan memetik atau mengonsumsi tanaman liar.
Baca juga : Edamame, Kedelai Hijau Camilan Sehat Kaya Manfaat
BKSDA Jawa Tengah telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar agar tidak mengonsumsi atau merusak tanaman ini. Selain karena bukan bahan pangan, Entada juga memiliki fungsi ekologis penting bagi peneduh dan penahan erosi di hutan tropis. Edukasi seperti ini sangat penting agar masyarakat memahami peran setiap spesies dalam menjaga keseimbangan alam.

Para ahli kehutanan menegaskan bahwa polong Entada Rheedii tidak layak dikonsumsi karena bukan tanaman pangan dan mengandung biji sangat keras. Masyarakat juga diimbau tidak mencoba mengolahnya tanpa pengetahuan botani yang memadai mengingat kandungan senyawa di dalamnya berbeda dari kacang-kacangan.
Fenomena “petai raksasa” yang viral menunjukkan pentingnya edukasi publik tentang keragaman flora Indonesia agar masyarakat tidak keliru mengidentifikasi tanaman. Banyak spesies hutan memiliki kemiripan visual dengan tanaman konsumsi, namun memiliki karakter dan fungsi yang jauh berbeda. (Ramlee)
