Cucak rotan atau cucakrawa papua merupakan spesies burung asal Papua. Burung ini ini sempat digandrungi sebagian kicau mania, karena dianggap unik dan memiliki suara lantang. Dalam buku Daftar Burung Indonesia, tidak akan pernah ditemukan jenis burung yang bernama cucak rotan atau cucakrawa papua.
Sebutan ini sebenarnya diberikan oleh para pedagang maupun kicau mania, sekadar memudahkan identifikasi saja. Burung ini memiliki nama resmi Pitohui, dan termasuk dalam famili Colluricinclidae. Pitohui merupakan salah satu jenis burung lokal yang cukup populer pada habitat aslinya. Pitohui ada beberapa spesies, semua endemik Papua.
Pitohui kepala hitam merupakan salah satu dari sedikit spesies burung beracun yang diketahui. Burung ini dikenal memiliki bulu yang beracun bagi manusia ataupun hewan. Pitohui adalah burung beracun pertama dan satu-satunya yang dikonfirmasi secara ilmiah di dunia.
Para pemburu lokal telah mengetahui sifat beracun burung ini. Mereka sudah pasti menghindar dari burung ini. Namun tingkat toksisitasnya dapat bervariasi bergantung letak geografisnya. Burung ini tubuhnya berukuran panjang 22 hingga 23 cm dengan bobot tubuh sekitar 65 hingga 76 gram saja.
Baca juga : Mambruk, Burung Dara Endemik Papua Bermahkota Indah
Pitohui dewasa memiliki sayap atas, kepala, dagu, tenggorokan, dan bagian dada atas berwarna hitma serta ekornya juga berwarna hitam. Sedangkan bagian tubuhnya yang lain berbulu kastanye. Sementara itu, bagian paruh dan kakinya berwarna hitam dengan bagian iris mata berwarna cokelat kemerahan, cokelat tua, atau hitam.
Selain itu, burung ini juga memiliki kaki panjang yang disertai cakarnya yang tajam. Biasanya cakar tajam ini sangat berguna bagi burung untuk mengelabui musuh-musuhnya dan untuk melindungi dirinya.
Tidak ada dimorfisme seksual pada burung pitohui, di mana burung jantan dan betinanya terlihat sama saja. Saat remaja, ekor dan sayap burung ini akan berwarna cokelat. Suatu penelitian, menyebutkan burung pitohui mendapatkan racun dari kumbang melyrid kecil yang menjadi makanannya.
Meskipun begitu, burung ini juga memakan buah-buahan, terutama buah ara, biji rumput, beberapa serangga seperti kumbang, laba-laba, lalat, ulat, dan semut. Burung ini dapat ditemukan di hutan hujan, hutan bakau, daerah perbukitan, dan pegunungan rendah.
Distribusinya hanya ada di Indonesia (Papua) dan Papua Nugini. Sebagian besar spesies pitohui merupakan burung penetap yang hidup secara berkelompok di bagian dalam vegetasi yang tersembunyi pada semua bagian hutan. Selain itu, pitohui sering ditemukan pada semak-semak yang berada di tepian hutan hingga ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut (dpl).
Suara kicauan burung pitohui berupa campuran siulan, disertai suara cegukan keras dan berirama. Sepintar mirip suara kicauan kepudang dan samyong. Bedanya, suara cucak rotan selalu diselingi teriakan kasar mirip suara kucing.
Baca juga : Kakatua Raja si Hitam Eksotis Endemik Tanah Papua
Burung pitohui sebenarnya memiliki suara yang indah. Tetapi karena pada permukaan kulit dan bulu-bulunya terdapat racun, maka orang-orang jarang atau tidak berani menangkapnya. Kalau pun dijual, siapa yang mau membeli burung beracun? Rupanya inilah cara alami meredam aksi perburuan burung-burung di hutan. Faktanya, populasi burung pitohui di alam liar relatif aman.
Racun pada burung pitohui terdapat pada bulu, selain itu juga ditemukan kandungan racun pada kulit dan jaringan tubuh lainnya. John Daly, seorang ahli kimia di Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat, menemukan keberadaan batrachotoxins (BTXs) – alkaloid steroid neurotoksik yang sangat kuat pada bulu pitohui.
Racun yang terdapat pada permukaan kulit dan bulu-bulu burung ini termasuk kategori neurotoxin (racun yang menyerang jaringan otak). Bahan kimia ini sebenarnya racun alami dan paling kuat yang pernah dikenal manusia. Senyawa BTXs adalah alkaloid steroid neurotoksik yang bekerja dengan mengganggu aliran ion natrium melalui saluran di saraf dan membran otot.
Racun ini menyebabkan mati rasa dan terbakar dalam konsentrasi rendah, dan kelumpuhan, diikuti oleh serangan jantung dan kematian, jika diterima dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Mereka diakui sebagai senyawa paling beracun menurut beratnya di seluruh alam (250 kali lebih beracun daripada strychnine).
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pitohuis menyimpan racun baik di kulit dan bulu mereka, tetapi juga di tulang dan organ internal — meskipun dalam konsentrasi yang jauh lebih rendah. Fakta bahwa racun ini ditemukan dalam sistem internal burung menunjukkan bahwa mereka tidak peka terhadapnya.
Menariknya, konsentrasi batrachotoxin sangat bervariasi menurut individu, serta secara geografis. Sumber racun dalam pitohuis telah menjadi topik perdebatan besar di antara para ilmuwan, tetapi konsensus umumnya adalah bahwa burung ini tidak menghasilkan racun itu sendiri, tetapi mendapatkannya dari makanan mereka, khususnya kumbang Choresine yang juga mengandung racun.
Baca juga : Udang Selingkuh, Lobster Unik dari Sungai Baliem Papua
Alasan mengapa pitohui beracun juga belum ditentukan. Beberapa ilmuwan percaya itu adalah pencegah predator, tetapi ada sedikit bukti untuk mendukung teori ini. Penjelasan yang lebih masuk akal adalah bahwa racun pada kulit dan bulu mereka dirancang untuk menjauhkan parasit.
Eksperimen telah menunjukkan bahwa kutu cenderung menghindari bulu beracun dari pitohui dan mereka yang menginfeksinya hidup lebih pendek daripada kutu kontrol. Namun, batrachotoxins tampaknya tidak berpengaruh pada parasit internal.
Burung ini juga sering menggunakan racunnya untuk menjaga telur-telur dari mangsa binatang predator, yaitu dengan cara menggesekan racun yang berada di tubuhnya pada telur-telurnya. Penduduk lokal menyebut pitohui sebagai “burung sampah”, karena mengeluarkan bau busuk saat dimasak, dan hanya dikonsumsi sebagai pilihan terakhir, ketika tidak ada sumber makanan lain yang tersedia. (Ramlee)
[…] Baca juga : Cucak Rotan, Burung Unik Endemik Papua […]
[…] Baca juga : Cucak Rotan, Burung Unik Endemik Papua […]
[…] Baca juga : Cucak Rotan, Burung Unik Endemik Papua […]