Kukang (Nycticebus spp.) terkadang disebut juga satwa pemalu karena sifatnya yang pemalu merupakan primata bertubuh kecil, kekar, dan ekornya sangat pendek. Penampilannya lucu dan menggemaskan sehingga banyak orang yang gemar menjadikannya sebagai hewan peliharaan. Kukang juga jenis primata yang gerakannya lambat.
Dari sekian banyak spesies Nycticebus yang ada di dunia, para ahli mengklaim hanya ada lima spesies yang mampu bertahan hidup. Tiga di antaranya berada di Indonesia.Ketiga spesies tersebut adalah Nycticebus coucang (Kukang Sumatera), Nycticebus menagensis (Kukang Kalimantan), dan Nycticebus javanicus (Kukang Jawa).
Warna rambutnya beragam, dari kelabu keputihan, kecokelatan, hingga kehitam-hitaman. Pada punggungnya terdapat garis cokelat melintang dari belakang hingga dahi, lalu bercabang ke dasar telinga dan mata. Berat tubuhnya berkisar antara 0,375-0,9 kg dengan panjang tubuh saat dewasa sekitar 19–30 cm.
Kukang berkepala bulat, moncongnya meruncing, dan matanya besar. Rambut tubuhnya halus dan lebat. Pola warnanya berbeda-beda menurut spesies sehingga digunakan pula untuk identifikasi, tetapi umumnya bervariasi dari cokelat kelabu pucat hingga cokelat kemerah-merahan.
Baca juga : Yaki, Monyet Hitam Berjambul Endemik Sulawesi
Sebuah garis cokelat berjalan dari ubun-ubun hingga tengah punggung atau pangkal ekor. Biasanya terdapat lingkaran gelap yang mengelilingi kedua mata, diseling oleh jalur pucat atau putih yang membujur di antara kedua mata hingga ke dahinya. Di malam hari, matanya dapat memantulkan cahaya obor dengan jelas.
Kukang memanjat dan bergerak di antara ranting dan cabang pohon dengan perlahan dan berhati-hati. Binatang ini hampir tidak pernah melompat. Tangan dan kakinya hampir sama panjang. Tangan dan kaki itu telah mengalami adaptasi sedemikian rupa sehingga mampu memegang erat ranting-ranting pohon dalam waktu cukup lama tanpa kelelahan.
Kukang adalah hewan omnivora atau pemakan segala. Kukang biasa memakan tumbuhan maupun hewan yang ukurannya lebih kecil dari tubuhnya, misalnya serangga. Selain itu, kukang suka memakan getah pohon, buah, dan pucuk bunga.
Kukang termasuk golongan primata primitif nokturnal, yaitu jenis hewan yang lebih banyak beraktivitas pada malam hari dan lelap tertidur di siang hari. Primata primitif sendiri berarti kukang memiliki ciri khas yang sedikit berbeda dari primata kebanyakan.
Beberapa diantaranya adalah hidungnya yang basah dan indera penglihatannya yang berfungsi baik di tempat gelap. Aktivitas harian kukang juga banyak dihabiskan di atas pohon atau yang disebut dengan satwa arboreal. Kukang juga hidup soliter dan penyendiri.
Kukang disebut juga Si Mata Bulan Penjaga Hutan. Kukang juga dikenal dengan nama Slow Loris karena gerakannya yang lamban dalam beraktivitas. Aktivitas kukang biasanya dimulai pukul 6 sore hingga 5 pagi. Setelahnya, kukang akan mencari tempat nyaman untuk tidur.
Kukang akan mencari tempat tidur di atas pohon berdaun rimbun dan cukup gelap yang terlindung dari sinar matahari. Meskipun dikenal dengan gerakannya yang lamban, tetapi untuk mencari dan mendapatkan makanan, kukang bisa berjalan menempuh jarak hingga 8 kilometer dalam satu malam.
Pemangsa alami satwa lucu ini di antaranya ular, elang brontok, orangutan, musang, dan beruang madu. Kukang punya alat perlindungan diri agar terhindar dari predator. Kukang memiliki barisan gigi yang tajam dan berbisa. Kukang adalah satu-satunya primata di dunia yang memiliki bisa.
Baca juga : Jelarang, Bajing Pohon Raksasa Penyendiri yang Kian Langka
Gigitan kukang dikenal berbisa. Ini adalah ciri yang jarang terdapat di kalangan mamalia, tetapi khas pada kelompok primata lorisid. Bisa berbahaya pada kukang tersembunyi di bagian ketiaknya. Pada saat kukang melakukan grooming atau membersihkan diri, kukang akan menjilati bagian tubuhnya (termasuk ketiak) hingga bersih.
Pada saat itulah bisa-bisa tersebut menempel, lalu terkumpul di mulut serta gigi-gigi mereka. Sekresi kelenjar lengannya mengandung zat semacam alergen yang dihasilkan kucing, yang diperkuat dengan komposisi kimiawi yang didapatnya dari makanannya di alam liar. Bisa kukang cukup berbahaya.
Kukang merupakan satu – satunya hewan primata yang berbisa dimana racun yang terkandung dalam bisanya dapat menyebabkan syok Anafilaksis. Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi berat yang terjadi secara tiba-tiba dan dapat menyebabkan kematian.
Anafilaksis biasanya ditunjukkan dengan beberapa gejala termasuk di antaranya ruam gatal, pembengkakan tenggorokan, dispnea, muntah, kepala terasa ringan, dan tekanan darah rendah. Gejala-gejala ini akan timbul dalam hitungan menit hingga jam.
Primata ini berkomunikasi salah satunya lewat bau yang ditinggalkannya di tempat-tempat tertentu. Pejantannya diketahui memiliki teritori yang dipertahankannya dengan ketat. Hewan ini lambat bereproduksi. Anaknya yang masih kecil sering ditinggalkan di ranting-ranting pohon. dan akan dijaga bergantian dengan induk lainnya.
Pada 1785, seorang dokter dan naturalis bangsa Belanda bernama Pieter Boddaert menulis deskripsi ilmiah yang pertama mengenai hewan ini, yang dinamainya Tardigradus coucang. Deskripsi ini dibuat berdasarkan uraian Thomas Pennant pada tahun 1781 mengenai “monyet tak berekor” yang diduga adalah kukang sunda, digabungkan dengan tulisan Arnout Vosmaer mengenai kukang benggala.
Oleh sebab itu, identitas T. coucang sempat mengalami kesimpang-siuran sebelum pada akhirnya ditetapkan sebagai nama ilmiah kukang sunda. Meskipun Vosmaer telah menulis mengenai kukang benggala pada 1770, akan tetapi hewan ini baru dideskripsikan secara ilmiah pada 1800 oleh Bernard Germain de Lacépède, yang memberinya nama Lori bengalensis.
Dua belas tahun kemudian, Étienne Geoffroy Saint-Hilaire mendeskripsi kukang jawa dan menempatkannya dalam marga yang baru, Nycticebus. Nama itu berasal dari kata-kata bahasa Gerika yakni nyktos yang berarti malam dan kêbos yang berarti monyet, merujuk pada kebiasaan hewan ini yang bersifat nokturnal.
Baca juga : Belangkas, Fosil Hidup Penyelamat Jutaan Manusia
Pada 1983 dideskripsikan kukang borneo (saat itu bernama ilmiah Lemur menagensis) oleh Richard Lydekker dan kukang kerdil (Nycticebus pygmaeus) oleh John James Lewis Bonhote pada 1907. Namun, pada 1939 Reginald Innes Pocock merevisinya dan menganggap bahwa semua satwa itu adalah satu spesies saja, yakni N. coucang.
Pandangan ini bertahan selama 30 tahun lebih, sampai pada 1971 ketika Colin Groves meyakini bahwa N. pygmaeus adalah spesies yang berbeda dan N. coucang terdiri dari empat subspesies yang berlainan. Setelah tahun 2000, dengan berkembangnya pengetahuan dan digunakannya analisis genetika sebagai alat bantu, satu per satu status jenis-jenis satwa ini dipulihkan kembali pada tingkat spesies.
Berdasarkan data, spesies N. javanicus masuk dalam status kritis. Sedangkan spesies N. coucang dan N. menagensis tergolong sebagai satwa yang cukup rentan. Berdasarkan daftar merah IUCN, populasi hewan nocturnal tersebut terus mengalami penurunan seiring tingginya aktivitas perburuan dan perdagangan satwa secara ilegal.
Dari delapan spesies kukang yang masih ada, enam di antaranya dapat ditemukan di Indonesia, yakni di pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Banyaknya perburuan primata ini membuatnya terancam punah. Saat ini, hewan ini telah dilindungi di Indonesia sehingga memperdagangkannya melanggar hukum (ilegal). (Ramlee)
[…] Baca juga : Kukang, Primata yang Bergerak Lambat Kian Terancam Punah […]
[…] Baca juga : Kukang, Primata yang Bergerak Lambat Kian Terancam Punah […]
[…] Baca juga : Kukang, Primata yang Bergerak Lambat Kian Terancam Punah […]